Tawa
renyah dan senyuman khas selalu hadir disetiap sapaannya. Seseorang yang akan
selalu saya ingat. Seseorang yang selalu mengisi hari-hari belajar saya dengan
canda, tawa, tangis dan curhatnya.
Hilda, begitulah nama panggilannya
yang selalu dia sebut dalam perkenalannya. Lebih dari seorang teman sebangku,
sahabat lebih tepatnya untuk menggambarkan sosok Hilda. Nur Hidayanti nama
lengkapnya, anak keturunan Betawi asli. Berkulit putih, berkacamata, dengan
postur tubuh yang agak gemuk namun tidak terlalu tinggi sampai terkadang dia
harus mendongakkan kepalanya saat berbicara dengan saya ketika kami sedang
jalan bersama. Mirip pemeran serial anak Saras 008, yah seperti itulah
kira-kira tampangnya.
Dua tahun duduk sebangku disekolah
membuat saya paham betul dengan sosoknya. Dia selalu ceria walau kadang ada
saja masalah dirumahnya. Kami sering main bersama, dia main kerumah saya atau
saya main kerumah dia. Untuk belajar kelompok atau hanya tuk sekedar
cerita-cerita, nonton VCD atau rujak party saat pohon jambu di teras rumahnya
sedang berbuah. Hilda selalu antusias saat dia menceritakan seseorang yang
tengah dekat dengannya. Bobby, cowok itu yang bisa merebut hatinya.
Setelah lulus SMA, Hilda memutuskan
untuk bekerja. Dia tidak melanjutkan kuliah. Begitupula dengan saya, yang harus
hijrah ke kota Bogor karena mendapat tawaran kerja. Hampir setahun kita berdua ‘lost
contact’. Mungkin karena kita sama-sama sibuk bekerja. Tahun berikutnya saat
saya melanjutkan kuliah, dia masih tetap bekerja. Kami masih sempat bertemu,
saat itu saya iseng main kerumahnya. Hilda masih seperti biasa, bugar dan
selalu ceria. Kuliah sambil kerja membuat saya tidak punya waktu untuk main
kemana-mana.
Hingga beberapa bulan kemudian, saya
mendapat kabar bahwa Hilda sahabat saya sakit parah. Saya datang kerumahnya,
ternyata benar. Hilda mengidap leukemia. Walau dia berusaha ceria namun tetap
ada raut kesedihan dimatanya. Hilda cerita bahwa leukemia yang dideritanya
sudah masuk stadium lanjut. “Tuhan, separah itukah penyakitnya” pikir saya
dalam hati. Mungkin karena gaya hidup ditempat dia bekerja. Hilda sering
mengkonsumsi minuman pembangkit stamina kerja kala ia merasa lelah. Ditambah lagi
faktor pola makan dan shift kerja yang tidak beraturan.
Hilda, tubuhmu menjadi kurus, lebam-lebam
dikulit putihmu menandakan bahwa sel-sel itu menggerogoti tubuhmu. Dia meminta
maaf saat saya berpamitan pulang. Saya meminta ia untuk bersabar dengan
penyakitnya. Beberapa hari minggu kemudian, saya mendapat telpon dari adiknya. Hilda
dirawat dan membutuhkan donor darah pengganti untuk transfusi. Hilda drop lagi.
Malam itu juga saya pergi ke PMI untuk mendonorkan darah saya sebagai donor
pengganti. Beberapa hari, belum sempat lagi menjenguk Hilda dirumah sakit. Saya
mendapatkan kabar bahwa sahabat saya telah berpulang. Saya sedih, tak ada lagi
wajah ceria, tak ada lagi tawa renyah, tak ada lagi senyuman khas, tak ada lagi
tempat curhat.
Mungkin ini memang jalannya. Hilda...kita semua sayang
kamu, orangtuamu, keluargamu, Bobby dan juga saya. Tapi percayalah bahwa DIA
lebih menyayangimu dan selalu menjagamu.
Selamat jalan Hilda…bahagiamu disana
bersama DIA
Sahabatmu,
EndNov